AL
GHAZALI
Abu Hamid
Muhammad Al-ghazali lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh suatu kota kecil yang
terletak didekat Thus di Khusaran (Iran), ia berbelar hujjarui islam, sebutan
al-Ghazali diambil dari kata-kata “Ghazalah” yakni nama kampung kelahiran al-Ghazali,
sebutan tersebut kadang-kadang diucapkan dengan “Al-Ghazzali”. Istilah ini
berakal kata pada “Ghazal” artinya tukang printak benang sebab pekerjaan ayah
al-Ghazali adalah memintal benang wool.
Tokoh terbesar
dalam sejarah reksi islam Neo-Platonisme adalah al-Ghazali seorang ahli Hukum,
teolog, filosof, dan sufi, dilahirkan di Thus (khusaran) pada tahun 1059, pertama-tama al-Ghazali memutuskan
perhatiannya pada ajaran yuris prudensi (fiqh) dengan salah seorang Radzkani,
kemudian berpindah kejurjan dimana ia meneruskan studinya dengan Abu al-Qasim
al-Isma’ili. Meskipun begitu, gurunya yang paling besar adalah al-Juwayni,
seorang teolog Asy’ariyah yang termukakan saat itu. Al-Juwayni memprakasai
muridnya yang brilian ini kedalam studi kalam, filsafat dan logika,
perkenalannya dengan teori dan praktek miskitisme adalah berkat jasa
al-farmatzi (W. 1084). Seorang sufi terkemuka saat itu.
Kehidupan
pemikiran periode Al-Ghazali dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran
keagamaan dan tren pemikiran, di samping munculnya beberapa tokoh pemikir besar
sebelum Al-Ghazali. Di antaranya Abu ‘Abdillah Al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh
Syi’ah, Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina
(w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli matematika dan
fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, Al-Isfara’ini (w. 418
H.) dan Al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan As-Sabbah
(w. 485 H.) tokoh Batiniyah. Al-Ghazali
menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya menjadi empat aliran
populer, yaitu mutakallimun, para filosof, al-ta’lim dan para sufi. Dua aliran
yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat
perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang
ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq
(intuisi).
Dengan
latar belakang tersebut Al-Ghazali yang
semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – bisa dilihat dari
karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap filsafat – mengalami keraguan
(syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal
dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi
idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat.
Sebab menurut hadit Nabi; “Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrahnya, yang
membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orang
tuanya."
Oleh karenanya
ia mencari hakikat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena
datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah Al-Ghazali menyimpulkan
bahwa ia harus mulai dari hakikat pengetahuan yang diyakini kebenarannya. Bertolak
dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, Al-Ghazali menduga bahwa kebenaran
hakikat diperoleh dari yang tergolong
al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan
aksiomatis). Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi
dari dalam dirinya.
Ketika ia
mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari
kemungkinan bersalah. Kepercayaan Al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena
tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan
aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber
pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan
hipotesis (fardhi) saja, dan tidak
sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual. Al-Ghazali kemudian menduga adanya pengetahuan
suprarasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para
sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal) mereka melihat hal-hal yang
tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia
sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati.
Al-Ghazali
menyimpulkan ada situasi normal di mana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya
pengembaraan intelektual Al-Ghazali
berakhir pada wilayah tasawuf di mana ia meyakini al- dzauq (intuisi)
lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang
betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang
dilimpahkan Tuhan ke dalam hati manusia.
Namun demikian
pandangan Al-Ghazali yang bernuansa
moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat
kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat,
Al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya, terutama Ibnu
Sina, Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih.
Berikut adalah
karya-karya yang dihasilkan oleh Al-Ghazali:
1. Tahafutul
Falasifah
2. Al-Munqizminadi
Dialal
3. Ihya Ulumuddin
4. Manthik
5. Faqih
6. Tafsir
7. Akhlak
8. Adat
persoalan
9. Buku
al-Muqidz Minadh (penyelamat dan kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam
pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam
ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar