Sabtu, 03 Februari 2018

Al Ghazali

AL GHAZALI
Abu Hamid Muhammad Al-ghazali lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak didekat Thus di Khusaran (Iran), ia berbelar hujjarui islam, sebutan al-Ghazali diambil dari kata-kata “Ghazalah” yakni nama kampung kelahiran al-Ghazali, sebutan tersebut kadang-kadang diucapkan dengan “Al-Ghazzali”. Istilah ini berakal kata pada “Ghazal” artinya tukang printak benang sebab pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wool.
Tokoh terbesar dalam sejarah reksi islam Neo-Platonisme adalah al-Ghazali seorang ahli Hukum, teolog, filosof, dan sufi, dilahirkan di Thus (khusaran) pada tahun 1059,  pertama-tama al-Ghazali memutuskan perhatiannya pada ajaran yuris prudensi (fiqh) dengan salah seorang Radzkani, kemudian berpindah kejurjan dimana ia meneruskan studinya dengan Abu al-Qasim al-Isma’ili. Meskipun begitu, gurunya yang paling besar adalah al-Juwayni, seorang teolog Asy’ariyah yang termukakan saat itu. Al-Juwayni memprakasai muridnya yang brilian ini kedalam studi kalam, filsafat dan logika, perkenalannya dengan teori dan praktek miskitisme adalah berkat jasa al-farmatzi (W. 1084). Seorang sufi terkemuka saat itu.
Kehidupan pemikiran periode Al-Ghazali dipenuhi dengan munculnya berbagai aliran keagamaan dan tren pemikiran, di samping munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum Al-Ghazali. Di antaranya Abu ‘Abdillah Al-Baghdadi (w. 413 H.) tokoh Syi’ah, Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar (w. 415 H.) tokoh Mu’tazilah, Abu ‘Ali Ibn Sina (w. 428 H.) tokoh Filsafat, Ibn al-Haitam (w. 430 H.) ahli matematika dan fisika, Ibn Hazm (w. 444 H.) tokoh salafisme di Spanyol, Al-Isfara’ini (w. 418 H.) dan Al-Juwaini (w. 478 H.). Keduanya tokoh Asy’arisme, dan Hasan As-Sabbah (w. 485 H.) tokoh Batiniyah. Al-Ghazali  menggolongkan berbagai pemikiran pada masanya menjadi empat aliran populer, yaitu mutakallimun, para filosof, al-ta’lim dan para sufi. Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir menggunakan al-dzauq (intuisi).

Dengan latar belakang tersebut Al-Ghazali  yang semula memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi – bisa dilihat dari karya-karyanya sebelum penyerangannya terhadap filsafat – mengalami keraguan (syak). Keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut persepsi idealnya, kebenaran itu adalah satu sumber berasal dari al- Fithrah al- Ashliyat. Sebab menurut hadit Nabi; “Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrahnya, yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah kedua orang tuanya."
Oleh karenanya ia mencari hakikat al- Fithrah al- Ashliyat yang menyebabkan keraguan karena datangnya pengetahuan dari luar dirinya. Dari sinilah Al-Ghazali menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakikat pengetahuan yang diyakini kebenarannya. Bertolak dari pengetahuan yang selama ini ia kuasai, Al-Ghazali menduga bahwa kebenaran hakikat diperoleh dari yang  tergolong al-hisriyat (inderawi) dan al-dharuriyat (yang bersifat apriori dan aksiomatis). Sebab kedua pengetahuan ini bukan berasal dari orang lain tetapi dari dalam dirinya.
Ketika ia mengujinya kemudian berkesimpulan kemampuan inderawi tidak lepas dari kemungkinan bersalah. Kepercayaan Al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat apriori, artinya ketika akal harus membuktikan sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi)  saja, dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual. Al-Ghazali  kemudian menduga adanya pengetahuan suprarasional. Kemungkinan tersebut kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi, bahwa pada situasi-situasi tertentu (akhwal) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal dan adanya hadis yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya sesudah mati.
Al-Ghazali menyimpulkan ada situasi normal di mana kesadaran manusia lebih tajam. Akhirnya pengembaraan intelektual Al-Ghazali  berakhir pada wilayah tasawuf di mana ia meyakini al- dzauq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini diperoleh melalui nur yang dilimpahkan Tuhan ke dalam hati manusia.

Namun demikian pandangan Al-Ghazali  yang bernuansa moral juga tidak terlepas dari filsafat. Pandangannya tentang moral sangat erat kaitannya dengan pandangannya tentang manusia. Dalam karya-karya filsafat, Al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh filosof muslim sebelumnya, terutama Ibnu Sina, Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih.
Berikut adalah karya-karya yang dihasilkan oleh Al-Ghazali:
1.      Tahafutul Falasifah
2.      Al-Munqizminadi Dialal
3.       Ihya Ulumuddin
4.       Manthik
5.       Faqih
6.      Tafsir
7.      Akhlak
8.      Adat persoalan
9.      Buku al-Muqidz Minadh (penyelamat dan kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar