Sabtu, 03 Februari 2018

Ibnu Khaldun

PEMIKIRAN IBNU KHALDUN
Ibnu khaldun adalah seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar pada zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Beliau adalah seorang pendiri ilmu pengetahuan sosiologi yang secara khas membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata. [1]
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H. / 27 Mei 1332 M, wafat 19 Maret 1406/808H. Beliau dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alqur’an sejak usia dini, selain itu beliau juga membahas tentang pendidikan islam. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan).[2] Beliau masih memiliki garis keturunan dengan Wail bin Hajar, salah seorang sahabat Nabi Saw. Wail bin Hajar pernah meriwayatkan sejumlah hadith serta pernah dikirim nabi untuk mengajarkan agama Islam kepada para penduduk daerah itu. Pada abad ke-8 M Khalid bin Utsman datang ke Andalusia bersama pasukan arab penakluk wilayah bagian selatan Spanyol. Khalid kemudian lebih dikenal panggilan Khaldun sesuai dengan kebiasaan orang Andalusia dan Afrika Barat Laut yakni dengan penambahan pada akhir nama dengan “un” sebagai pernyataan penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Dengan demikian Khalid menjadi Khaldun.
Di Andalusia keluarga Khaldun memainkan peranan yang cukup menonjol baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari segi politik. Mereka awalnya menetap di kota Carmon kemudian pindah ke kota Sevilla. Di kota ini mereka memainkan peranan penting dalam pemerintahan. Akan tetapi melihat kakeknya yang aktif dalam pemerintahan maka ayah ibn Khaldun memutuskan untuk menjauhkan diri sama sekali dari dunia politik dan mengkhususkan dirinya untuk bergerak hanya di bidang ilmu pengetahuan. Ayahnya menjadi terkenal di bidang bahasa arab dan tasawuf. Dilihat dari banyaknya yang dipelajari Ibnu Khaldun hal ini dapat diketahui bahwa dia memiliki kecerdasan yang luar biasa dan dia tidak puas dengan satu disiplin ilmu saja sehingga pengetahuannya begitu luas dan sangat bervariasi.
Ibnu Khaldun mulai berkarir dalam bidang pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat Laut dan Andalusia selama hampir seperempat Abad. Dalam kurun waktu itu dari sepuluh kali dia pindah jabatan dari satu dinasti ke dinasti yang lain.
Jabatan pertaman Ibnu Khaldun pertama adalah sebagai anggota Majlis keilmuwan Sultan Abu Inal dari Bani Marin di ibu kota Fez. Kemudian dia diangkat menjadi sekertaris Sultan  pada Tahun 1354. Selain di dunia politik, Ibnu Khaldun juga mengajarkan ilmunya di masjid. Kemudian dia pindah ke Biskarah. Dari Biskarah kembali ke Andalusia baru dan menuju Tilimsan tahun 1374 M. Di Tilimsan ini ibnu Khaldun menemukan tempat untuk menulis dan membaca di rumah bani Arif di dekat benteng Qal’at Ibn Salamh sebagai tempat tinggal dan tinggal di Istana Ibnu Salamah. Di tempat inilah selama empat tahun dia memulai karnya yang terkenal dengan Kitab al-Ibar (sejarah Universal).
Pada Tahun 1378 dia meninggalkan istana dan menuju Tunisia. Selama di Tunis dia melakukan revisi terhadap karyanya dan naskah asli tersebut di hadiahkan kepada Sultan Abu al-Abbas tahun 1382 M. Pada Tahun 1382 M dia pindah ke Alexandria dan menetap di Mesir. Di Mesir ini Ibnu Khaldun mengajar di Masjid al-Azhar. Di Masjid al-Azhar dia memberi kuliah Hadith, Fiqh maliki, serta menerangkan teori-teori kemashurannya dalam kitab Muqaddimah di samping juga mengajar di perguruan tinggi al-Azhar. Dia diangkat sebagai hakim madhab Maliki pada 1384 M dan aktif dalam dunia pendidikan. Pada tanggal 25 Ramadhan 808 H bertepatan tanggal 19 Maret 1406. Ibnu Khaldun meninggal pada usia 76 Tahun. Untuk menghormati nama besarnya dia dimakamkan di pemakaman sufi di Bab al-Nashr Kairo, yang merupakan makam para ulama dan orang-orang penting.
Sebagai pelopor sosiologi, sejarah-filsafat, dan ekonomi-politik, karya-karyanya memiliki keaslian yang menajubkan. “Kitab al-I’bar” termasuk al-Taarif adalah buku sejarahnya yang monumental, berisi Muqaddimah serta otobiografinya. Bukunya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama terkenal dengan muqaddimah, dalam bagian ini membicarakan tentang masyarakat, asal-usulnya,kedaulatan, lahirnya kota-kota dan desa-desa, perdagangan, cara orang mencari nafkah, dan ilmu pengetahuan. Bagian kedua kitab al-I’bar, terdiri dalam empat jilid, membicarakan tentang sejarah bangsa arab dan orang-orang muslim lainnya dan juga dinasti-dinasti pada masa itu, termasuk dinasti syiria, persia, seljuk, turki, yahudi, romawi, dan prancis. Dan bagian ketiga terdiri dari dua jilid, membicarakan bangsa barbar dan suku tetangga, otobiografi yaitu Al-Taarfi.[3]

Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-semata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. Tradisi penyeledikan ilmiah yang dilakukan oleh ibnu khaldun dimulai dengan menggunakan tradisi berfikir ilmiahdengan melakukan kritik atas cara berfikir “model lama” dan karya-karya ilmuwan sebelumnya, dari hasil penyelidikan mengenai karya-karya sebelumnya, telah memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang sahih, pengetahuan ilmia auat pengetahuan yang otentik.[4]
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yaitu:
  1. Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan
  2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlaq
  3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
  4. Menyiapakan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan
  5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran
  6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian
Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yaitu:
  1.  Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.
  2.  Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman
  3.  Pembinaan pemikiran yang baik[5]


Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.

2.  Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
a.    Ilmu logika,
b.    Ilmu fisika,
c.    Ilmu metafisika dan
d.    Ilmu matematika termasuk didalamnya ilmu, geografi, aritmatika dan al-jabar, ilmu music, ilmu astromi, dan ilmu nujuum.


Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
a.    Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
b.    Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
c.     Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
d.    Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama.

Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar